About Me

weetebula jaman sekarang
Lihat profil lengkapku

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.
Sabtu, 30 April 2011

Cerpen Seputar Disiplin

Cerpen Seputar Disiplin

PENDIRIAN YANG BARU
Pascal Leuwayan
“Teng…teng…teng!” Bel bangun tidur berbunyi. Mataku sulit membuka. Walau telah 5 tahun hidup di seminari dengan aturan: bangun jam 05.00, kebiasaan untuk langsung bangun ketika bel berbunyi, seperti selalu ditekankan Rm. Prefek, belum dapat aku praktekan. Rasa dingin yang menyerang membabi buta membuat aku kewalahan walau telah bertamengkan 2 selimut tebal. Ingin rasanya tetap berlindung pada tameng itu, tapi sebagai seorang seminaris yang menjunjung tinggi nilai kedisiplinan, aku harus menyerang balik sang dingin demi menegakan aturan.
Sehabis mandi, sempat kulihat Frengki, teman seangkatanku yang masih nyenyak di tempat tidurnya. Entah karena tak mampu memenangkan perang melawan sang dingin atau karena merasa nyaman oleh buaian sang Selimut. Tiba-tiba ada suara berlari. Ternyata Ilas. Ia telah selesai berpakaian dan memakai sepatu. Mungkin hanya satu pikiran yang ada di benaknya: Aku harus sampai di kapel sebelum bel berbunyi. Ilas adalah seorang teladan kedisiplinan yang selalu aku kagumi tapi tak pernah dapat kutiru.
“Rios, segeralah berpakaian! 10 menit lagi bel berbunyi!”. Nah, yang satu ini juga penegak kedisiplinan. Rey adalah time keeper atau petugas waktu. Tugasnya membunyikan lonceng dan mengingatkan teman-teman pada tempat dan waktu yang salah. Aku pun segera berpakaian. Kulihat Ilas telah berlari menuju kapel sedang Rey membangunkan Frengki yang tak bergeming dari posisi tidurnya. Frengki malah memasang roman marah pada Rey.
“ Aku sudah mengingatkan kamu! Jangan salahkan aku kalau kamu kedapatan oleh romo”, Terdengar teriakan Rey. Aku berbalik dan melihat Rey berjalan dengan kesal meninggalkan Frengki yang masih tak bergeming. Sebuah cibiran menghiasi bibirnya. Walaupun sangat marah, Rey pasti tetap memegang teguh kekompakan dalam hal jahat. Seorang yang tahu temannya berbuat salah tak akan melaporkannya pada para pembina. Demikian juga Rey. Walau emosinya memuncak pada Frengki, takkan pernah ia berani melaporkannya pada romo. Mungkin karena dibayang-bayangi konsekuensi “dijauhi teman-teman”. Ya…itulah suatu tradisi yang salah namun terus diwariskan di Seminari.
Aku gamang melihat dua situasi yang kontras ini. Ilas yang sangat patuh pada aturan dan Frengki yang mengacuhkannya. Seakan ialah yang terhebat. Hanya dia yang bisa melanggar aturan.
Lalu seolah-olah aku mendengar ia berkata : “kamu itu penakut, tidak berani melanggar aturan seperti aku. Aku lebih jantan dari kamu”.
Errrrg…dasar! Memangnya dia kira hanya dia yang bisa melawan aturan. Aku juga bisa. Akan kutunjukkan bahwa aku juga berani berbuat salah. Bel berbunyi mengiringi derap langkahku menuju ke belakang kamar tidur. Arah yang berlawanan dengan jalan menuju kapel.
******
Pelajaran pagi itu menyenangkan, tapi dibuat jadi tak menyenangkan oleh gurunya. Gaya mengajar yang monoton dan hanya memperbolehkan siswa memperhatikan, membuat pak Tinus sang guru Astronomi, populer sebagai juara menidurkan siswa. Semangatku lenyap. Tanpa sadar kepalaku terkulai bagai ayam yang mencium aroma biji jambu mete bakar. Sedikit lagi kumasuki alam mimpi kalau saja kapur sialan itu tak menghantam kepalaku.
“Rios! Sudah dua kali kamu mendapat lemparan kapur. Lemparan ketiga silahkan angkat kaki dari kelas ini”, ultimatum pak Tinus yang membuat aku tak mengantuk lagi. Teman-teman lain tertawa. Padahal aku tahu pasti bahwa mereka juga mengantuk. Tapi kubiarkan saja pekerjaan menertawakan aku itu menjadi pengobat kantuk mereka. Untunglah pelajaran segera berakhir. Hormat penutup kami mengiringi kaki pak Tinus keluar kelas. Seakan koor syukur berakhirnya masa gelap.
Terdengar suara Frengki yang keras tak biasanya. Sepertinya ia ingin agar semua siswa mendengarnya. Dengan bangga ia bercerita tentang keberhasilannya lolos dari pemeriksaan Romo Prefek di kamar tidur tadi pagi. Sang Romo tak menemukannya karena ia bersembunyi di kolong tempat tidur. Aku tahu kebiasaan Romo Prefek memeriksa kamar tidur pada waktu anak-anak sedang misa pagi. Jadi aku tidak tinggal di kamar tidur tapi di belakang kamar tidur, di atas sebuah pohon yang cukup tinggi.
Aku kini merasa bahwa melanggar aturan telah menjadi ajang penunjukan kejantanan. Telingaku panas, hatiku kembang-kempis. Segala kata dari mulutnya kurasa sebagai buluh yang menggelitik kedengkian dan emosiku. Dasar! Sudah buat salah malah dibanggakan! Aku merasa seperti kalah satu tingkat di bawah Frengki. Perasaanku seperti perasaan seorang yang sama-sama mencalonkan diri sebagai legislatif dengan temannya tapi temannya berhasil lolos sedangkan ia tidak. Merasa tak sanggup lagi menahan luapan kedengkian, aku pun keluar dari kelas.
******
Kompleks kebun di belakang kelas adalah tempat favoritku. Di lahan yang sedikit miring itu, tumbuh dengan rapi tanaman ubi kayu dan pohon–pohon tomat. Sangat indah dengan dikelilingi pohon sawo dan kedondong yang menambah kerindangannya. Di bawah sebuah pohon sawo, ada bangku-bangku tempat duduk hasil kreasi anak-anak kelas XI IPA. Di tempat ini telah banyak kutangkap inspirasi-inspirasi kecil yang lalu kuracik dalam kertas menjadi sebuah opini, cerpen atau puisi-puisi sedap yang dapat dinikmati teman-teman di papan mading.
Kuingat kembali kontradiksi tadi pagi yang membuat aku melanggar aturan. Banyak anak ingin menunjukkan ‘kejantanannya’ bahwa ia bukan penakut. Mereka yang melanggar aturan merasa tingkatnya lebih tinggi dibanding mereka yang alim. Entah tingkat apa. Mungkin suatu tingkat imajiner yang membuat mereka merasa lebih hebat karena telah melanggar aturan. Padahal di beberapa kriteria nyata mereka ini tak lebih hebat dibanding anak-anak yang taat aturan. Belum tentu mereka bisa main bola kaki seperti aku, libero inti tim sepakbola seminari. Belum tentu juga mereka sepintar Ilas sang Juara satu umum tiga kali berturut-turut. Mereka juga tidak sehebat Irwan dalam berakting di panggung. Jadi tidak terbukti kalau mereka yang melanggar aturan lebih hebat dari mereka yang alim.
Para seminaris juga banyak mendengar sharing pengalaman para pembina ketika masih seminaris. Mereka yang waktu seminaris meraih juara untuk melanggar aturan kebanyakan menjadi imam. Sedangkan mereka yang disiplin waktu saat seminaris jarang yang menjadi imam. Inilah yang menambah semangat para seminaris untuk coba-coba melanggar aturan “Toh nanti akan tetap jadi imam”. Ditambah lagi ada yang bilang: lebih baik buat yang tidak baik waktu seminaris karena ketika jadi imam tak dapat lagi buat yang tak baik.
Kalau begitu, apa yang membuat Romo Prefek, yang nota bene adalah pelanggar aturan nomor satu waktu seminaris selalu menebarkan pernyataan: taatilah aturan karena akan ada faedahnya bagimu?
“Rios, mereka yang tak jadi imam menjadi orang yang berhasil dalam hidupnya karena menerapkan disiplin, bukan?” Entah dari mana datangnya, pernyataan ini tiba-tiba muncul dalam diriku. Mencambuk aku dari kesalahpahaman. Benar! Inilah bukti kebenaran perkataan Romo Prefek. Mereka yang terbiasa disiplin ketika masih kecil menjadi manusia yang berguna dan sukses kini. Contohnya para mantan seminaris yang tidak menjadi imam, kini menjadi orang yang yang berhasil karena mempraktekkan kedisiplinan yang menempanya sejak di seminari.
Ah! Akhirnya sampailah aku di ujung permenunganku. Telah kutemukan jawaban dilemaku. Aku menyesal karena tadi pagi melanggar aturan. Ternyata kehebatan bukan diukur dari itu. Apa yang dilakukan oleh Frengki bukan contoh yang baik. Aku harus belajar berdisiplin dari sekarang demi masa depanku.
“Rios, buat apa kamu di situ? Bel masuk kelas sudah berbunyi!”, Ilas memanggilku dari jendela kelas. Ah itu dia idolaku dalam soal disiplin. Aku berjanji akan beradu disiplin dengannya.
Segera kutinggalkan kebun dan berlari ke kelas. Siap menjalani hidup dengan pendirian yang baru.

Rabu, 24 Juni 2009

JAJAK PENDAPAT TENTANG DISIPLIN

Buletin Siswa SSB
By : Leonk dan franko
MENURUT SAYA….

Pada kesempatan ini, dua anggota tim kami menyajikan berbagai pendapat dari orang-orang di luar kru buletin ini, yang berhasil mereka rangkum dari wawancara singkat mereka dengan beberapa tokoh yang dianggap berpengalaman dalam hal penegakkan disiplin. Mau tahu apa pendapat banyak orang tentang kedisiplinan? Ikuti petikannya!
Bapak Jacobus Malo Bulu
( Bapak Wakil Bupati Sumba Barat Daya)
“Bagi saya disiplin adalah kunci keberhasilan. Dengan menerapkan disiplin yang ketat di rumah dan di sekolah, anak dapat berhasil dalam mencapai cita-citanya. Ada baiknya disiplin dalam rumah tangga dipelopori oleh orang tua dan diwujudnyatakan dalam perilaku sehari-hari sehingga dapat diteladani oleh anak.”

Bpk. Lalu Rastra Wirawan
(Kanad Lantas Polsek Laura, Weetebula)
“Menurut saya disiplin berarti tertib dan taat terhadap segala aturan yang dibuat. Dalam hal berlalulintas, disiplin berarti taat terhadap atuan-aturan lalu lintas. Disiplin lalu lintas di Sumba Barat Daya masih sangat kurang karena faktor rendahnya Sumber Daya Manusia. Pengguna jalan kurang mematuhi aturan lalulintas. Karena itu saya selalu menghimbau semua pihak agar:
Ø Taat aturan berlalulintas khususnya bagi pengguna kendaraan beroda dua.
Ø Memeriksa kelengkapan surat-surat sebelum berlalulintas
Ø Tidak membuat “pagar berjalan” alias berjalan dalam rombongan-rombongan sehingga mengganggu pengguna jalan yang lain.
Rm. Stef Tamo Ama, Pr
(Pastor Paroki Katedral Weetebula )
“Disiplin bagi saya merupakan sebuah aplikasi dari iman, “iman tanpa perbuatan adalah mati”. Iman harus tampak dalam segala tindakan hidup. Dalam hal ini Tuhan mendapat tempat pertama dalam segala hal. Dan perwujudan kedisiplinan iman nyata dalam pengampunan. Jika orang melaksanakan sesuatu dengan disiplin maka ia telah menunjukkan imannya dalam perbuatan. Ini juga bagian dari disiplin iman.”
Fr. Yustus, BHK
(Guru SMA St. Thomas Aquinas, Weetebula )
“Bagi saya disiplin berarti tegas, tidak kompromistis dengan aturan yang telah ditetapkan bersama. Sejauh yang saya amati, disiplin belajar siswa di SBD masih sangat kurang karena tidak memanfaatkan waktu dengan baik. Ditambah lagi sikap para guru yang sering memanjakan siswa. Menurut saya dengan memanjakan siswa, kita tidak memajukan generasi muda tetapi malah mematikan tunas bangsa”.
Bpk. Aloisius Bayo Bili
(Camat Loura, Weetabula)
“Bagi saya disiplin itu tepat waktu dan bertanggung jawab. Hal ini umumnya sudah diterapkan oleh para pegawai di kantor-kantor. Dalam lingkup tugas kami, pelayanan harus tepat waktu dan tidak boleh ditunda-tunda. Sehingga pelayanan pada masyarakat lancar dan tercipta kesejahteraan bersama.”
Bapak Albert Dendo
(Kepala Sekolah SMA Manda Elu, Weetebula)
“Menurut saya disiplin dalam mengajar berarti guru mengajar dengan baik dan tepat waktu. Kuncinya adalah kesadaran dari hati nurani untuk mengikuti aturan.”
Ibu Arniati Bulu
(Ibu Asrama Paroki Roh Kudus, Weetebula )
”Menurut saya menerapkan disiplin dalam hidup berasrama harus diawali dengan penetapan peraturan yang tegas. Dengan adanya aturan yang tegas, disiplin dengan sendirinya dapat terbentuk dan membentuk anak.”
Sr. Mariana Sogen
(Kepala – Muder Biara ADM )
“Menurut saya disiplin itu tatanan kehidupan bersama bukan peraturan, dalam hal ini hidup harus sesuai program. Untuk menjadi orang yang disiplin maka harus punya motivasi, prioritas nilai, tujuan ke depan serta konsisten dengan apa yang telah ditetapkan.”
Hendrikus R. Mada
(Pembina Bina Vokalia Kherubim)
“Bagi saya disiplin dalam kaitannya dengan pengembangan bakat itu identik dengan ketekunan. Orang yang ingin mengembangkan bakat harus membangun niat dan punya target. Kalau ingin mengembangkan bakat, harus ada waktu untuk berlatih setiap kesempatan, memiliki keberanian, berusaha untuk tahu lebih banyak, punya komitmen dan pantang menyerah. Salah satu hal yang tidak kalah penting ialah dukungan keluarga dan lingkungan sekitar.”
Syahdan
(Ketua Osis SMA Manda Elu, Weetebula)
“Menurut saya siswa-siswi jaman sekarang masih belum terlalu disiplin dalam berpakaian. Walaupun ada beberapa anak yang sudah mempraktekkannya, namun masih ada juga siswa yang belum memperhatikan kedisiplinan berpakaian. Padahal kedisiplinan berpakaian melambangkan pribadi orang yang bertanggungjawab. Oleh karena itu, saya menganjurkan agar teman-teman pelajar lebih memperhatikan lagi kedisiplinan berpakaian

Ingin Berlangganan, silakan hubungi, buletin_legatus@yahoo.co.id

OLAH PAKE PHOTOSHOP

OLAH PAKE PHOTOSHOP!!!

RINDU SERIBU BATANG JAGUNG...
Sketsa Perubahan Ekologi dan Sosial di Sumba


Lambanapu, desa kecil di pinggiran kota Waingapu, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Sungai raya Kambaniru mengalir sepanjang tahun disana, tak pernah kering di musim kemarau panjang sekalipun. Lahan basah hijau terhampar luas di sekitarnya, termasuk petak-petak sawah dengan sistem irigasi modern, berkat Bendungan Kambaniru yang hanya beberapa kilometer ke arah hulu, menyolok sempurna dengan jajaran bukit-bukit gundul merah-coklat di kejaujhan (lihat foto).
Juni 2004.
Pertama kali memasuki desa ini dan desa-desa sekitarnya, saya merasa tidak sedang berada di Sumba, pulau lahan kering dan padang rumput seluas-luas mata memandang. Saya merasa seperti berada di salah satu pedalaman Pulau Jawa atau Bali yang subur. Sambil membayangkan dan memperbandingkannya dengan desa-desa lain di berbagai tempat di Sumba yang pernah saya kunjungi sebelumnya, kesimpulan pertama yang mampir di benak adalah: Lambanapu pastilah salah satu dari sedikit saja desa-desa yang paling berkecukupan, terutama dalam hal ketersediaan bahan pangan, di seantero pulau cadas-karang ini.
Dan, dugaan awal itu nyaris meleset. Di semua rumah, yang selalu tersaji di meja makan, hampir semuanya didatangkan dari luar Lambanapu, atau bahkan dari luar Sumba. Petani-petani sawah setempat mengaku menanam beberapa jenis padi (Oryza sativa) yang umum dikenal di seluruh Indonesia, antara lain, jenis IR-65. Bahkan ada beberapa yang dengan bangga memamerkan sawahnya yang ditanami padi jenis ‘Mamberamo’, salah satu jenis lokal penghasil beras ‘kelas menengah atas’ di negeri ini, kurang-lebih sekelas dengan yang lebih sohor seperti ‘Cianjur’, ‘Rojolele’, atau ‘Mentik-wangi’. Tetapi, mengapa semua itu tak pernah saya temukan di meja makan rumah-rumah mereka? Mengapa yang tersaji justru beras impor bermutu rendah dengan rasa yang sama sekali tak sedap?
Penjelasannya lumayan rumit. Tetapi, secara singkat dan sederhana dapat ditelusuri sebagai dampak dari krisis ekonomi kawasan dan nasional sejak tahun 1997. Sebagai salah satu negara yang paling parah menderita krisis tersebut –dan berbagai krisis sosial serta bencana alam yang menyertainya-- sediaan beras nasional sempat guncang, memaksa pemerintah akhirnya harus mengimpor tambahan beras dalam jumlah besar. Bantuan internasional juga mengalir masuk, antara lain, beras murah tapi bermutu rendah dari kelebihan produksi beberapa negara besar, khususnya Amerika Serikat. Dan, terutama beras ‘kelas rendah’ inilah –yang konon di negeri asalnya justru untuk pakan ternak--yang dibagi-bagikan di seluruh Indonesia --terutama ke daerah-daerah minus, atau terkena bencana, atau yang ‘rawan pangan’, seperti Sumba-- sebagai ‘bantuan beras untuk golongan miskin’ (disingkat ‘RASKIN’ --selanjutnya akan disebut saja sebagai ‘beras miskin’). Ada yang dibagikan gratis sebagai jatah bantuan tetap selama beberapa bulan, ada juga yang dibagikan dengan harga jual yang sangat rendah, separuh atau sepertiga harga ‘beras biasa’ yang umum di pasar dan dikonsumsi sebagian besar penduduk Indonesia selama ini. Pegawai-pegawai pemerintah lapisan terbawah, terutama di daerah-daerah terpencil dan bukan penghasil beras, adalah juga salah satu kelompok terbesar penerima jatah bantuan ‘beras miskin’ tersebut. Ditambah dengan yang dikorupsi oleh para pengelola peredarannya –termasuk banyak ‘organisasi sosial’ yang mendadak lahir sebagai akibat dari krisis berkepanjangan, peralihan sistem politik yang belum mantap, dan membanjirnya bantuan kemanusiaan—maka beredar lah di pasaran umum (secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi) sejumlah besar ‘beras miskin’ dengan harga yang memang masih tetap jauh lebih murah dibanding ‘beras biasa’ umumnya.
Maka, tuan-rumah saya di Lambanapu menjawab pertanyaan saya tadi dengan aritmatika ekonomi khas petani desa: mereka menjual ‘beras biasa’ –atau beberapa orang bahkan menjual ‘beras kelas menengah atas’—hasil produksi mereka sendiri, dengan harga pasaran umum selama ini, lalu membeli ‘beras miskin’ tadi dengan harga separuh atau sepertiga lebih murah. Bahkan sering bisa memperolehnya gratis jika mereka mampu meyakinkan lembaga-lembaga pemerintah atau organisasi-organisasi yang menyalurkannya bahwa mereka memang termasuk kelompok ‘penduduk miskin’. “Jadi”, kata tuan rumah saya, “jelas lebih untung, ‘kan? Bisa dapat lebih banyak beras, malah masih bisa ada sisa uang dari hasil jual beras kami sendiri”.
Saya sempat terhenyak membisu mendengarnya. Dan, pikiran dan perasaan saya kian galau-balau ketika menemukan kenyataan bahwa mereka juga mulai menganggap bahwa jagung (Zea mayz) dan umbi-umbian –yang sesungguhnya merupakan bahan pangan pokok (staple food) tradisional Sumba—bukan lagi makanan utama. Lebih parah lagi, anggapan itu mulai berubah menjadi ‘kesadaran palsu’ bahwa makan jagung atau umbi-umbian akan menurunkan derajat kelas atau status sosial mereka. Seperti juga sudah umum ditemukan di banyak daerah lain di Indonesia --yang asal-muasalnya justru bukanlah penghasil beras dan pemakan nasi-- ungkapan yang sering terdengar di Lambanapu adalah: “Rasanya belum makan kalau belum makan nasi!”.
Kegalauan saya semakin balau ketika menemukan bahwa masalah itu di Lambanapu tidak hanya berhenti pada soal bahan pangan pokok. Sementara lahan subur seputar rumah mereka banyak yang menganggur –atau justru lebih dipenuhi tanaman jangka-panjang (cash crops) seperti coklat (Theobroma cacao), jambu mete (Anacardium occidentale), mangga (Mangifera indica), dan sebagainya-- mereka malah semakin sering membeli sayur segar dari pasar kota Waingapu. Bahkan, konsep ‘sayur’ mulai berubah. Seperti juga halnya di banyak daerah lain di Indonesia, hidangan ‘sayur’ di meja makan mulai sering digantikan oleh mie langsung-jadi (instant) yang mereka beli dari warung atau toko terdekat. Hampir tak ada lagi yang menggoreng dengan minyak-kelapa buatan sendiri, tetapi minyak-goreng kemasan buatan pabrik berbagai merek.
Mama Dang, sekitar 60an tahun lebih, mengenang masa kecil dan remajanya yang tidak perlu membeli bahan pangan apapun. Jagung dan umbian-umbian tersedia sepanjang tahun, dan hampir semua jenis sesayuran dan bebuahan penting mereka tanam sendiri di kebun atau pekarangan, atau sepanjang tegalan tepi Sungai Kambaniru yang juga menyediakan berbagai jenis ikan dan udang sungai. Dia mengenang ‘masa makmur’ itu dengan satu contoh berikut. Musim kemarau setiap tahun di Sumba membuat sebagian besar desa lain yang tidak memiliki lahan subur dan sumber air melimpah seperti Lambanapu, pasti akan mengalami kesulitan bahan pangan. Pada saat-saat seperti itulah mereka akan datang ke Lambanapu untuk menukar ternak-ternak mereka (sapi, babi, kambing, atau kuda) terutama dengan jagung dan umbi-umbian. “Biasanya”, kata Mama Dang, “kami menukar 5-6 karung jagung, singkong, atau umbi-umbian lain, ditambah dengan 1-2 karung bawang campur wortel atau labu, kelapa, cabe, tomat, atau sayuran lain, dengan satu sapi atau kuda dewasa, atau dengan dua kambing atau babi dewasa”. Persediaan pangan mereka melimpah, sehingga tidak harus khawatir dengan menukarkan jumlah sebanyak itu. “Sekarang”, lanjutnya, “kami malah membeli hampir semua itu dari pasar Waingapu”. Ketika ditanya mengapa, Mama Dang menjawab jelas sekali: “Semakin sedikit orang yang menanamnya. Kalaupun ada yang menanam, umumnya hanya cukup untuk keperluan mereka sendiri, atau malah mereka jual ke Waingapu. Hampir semua orang sekarang bikin sawah dan tanam-padi, terutama sejak ada Bendungan Kambaniru....”.
***
Dan, sekarang, Mama Dang, bersama beberapa perempuan tua dan ibu-ibu muda lainnya, membentuk satu kelompok usaha tenun-ikat kain Sumba yang terkenal itu. Tiga atau empat hari dalam seminggu, mereka berkumpul untuk memintal benang, mencelup warna, mengikat, dan menenun. Akibatnya, mereka pun semakin tidak banyak waktu untuk mengolah lahan memproduksi bahan pangan. Beberapa yang lebih muda mengaku bahkan sudah tidak tahu lagi bagaimana melakukannya. Tetapi, mereka tetap berpengharapan besar bahwa hasil penjualan tenun-ikat mereka akan mendatangkan uang tunai yang lebih dari cukup untuk membeli bahan pangan yang tidak mereka produksi sendiri lagi.
Meskipun, harapan itu sebenarnya semakin kabur pula. Mereka mengaku dapat menyelesaikan satu lembar kain dalam jangka waktu beberapa minggu atau bahkan bulan. Harganya memang menggiurkan: antara Rp 400 ribu sampai Rp 1 juta per lembar, bahkan jenis dan ukuran tertentu bisa dijual lebih dari itu. Tetapi, itupun membutuhkan beberapa minggu atau bahkan bulan lagi untuk terjual. Beberapa tahun sebelumnya, ada pedagang barang kerajinan dari Bali yang menampung produksi mereka. Sekarang, semakin jarang datang atau memesannya. Sementara itu, saingan semakin banyak pula: hampir semua desa di Sumba telah memproduksi tenun-ikat untuk dijual ke pasar yang sama. Harga pun kian lama kian menurun, sehingga banyak yang kemudian mulai memproduksi tenun-ikat dengan bahan sintetik yang lebih cepat, lebih murah, dan lebih mudah dijual. Maka, jadilah tenun-ikat asli tradisional Sumba sebagai barang eksotik yang lebih mahal dengan pasar yang semakin terbatas.
Bukan hanya kaum perempuan yang meninggalkan sektor pertanian pangan mereka, tetapi juga semakin banyak laum lelakinya. Di hotel-hotel, restoran-restoran, bahkan di jalan-jalan raya dan hampir semua tempat umum di kota Waingapu, setiap hari puluhan lelaki menjajakan tenun-ikat mereka, terutama kepada para pendatang dan wisatawan, dengan wajah letih dan memelas –tetapi kadang-kadang dengan cara mendesak-desak yang sering menjengkelkan. Di hotel tempat saya menginap, saya menghitung sekitar 20 penjaja tenun-ikat itu berdiri setiap dan sepanjang hari di depan hotel dan, selama beberapa hari itu, saya tidak pernah melihat ada seorang tamu hotel pun yang membelinya...
***
Secara umum, kelangkaan bahan pangan yang sangat gawat memang belum pernah terjadi di Lambanapu, dibanding sebagian besar desa lain di Sumba –terutama Sumba Timur-- yang umumnya tandus dan sejak lama –bersama banyak daerah lain di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi Nusa Tenggara Barat—dikenal sebagai salah satu ‘daerah rawan pangan nasional’. Tetapi gambaran singkat di atas memperlihatkan bahwa telah terjadi suatu proses perubahan sistem (ekonomi, politik, dan budaya) pangan lokal yang cenderung mengarah pada nasib yang sama di masa depan. Tanda-tandanya sudah sangat jelas: semakin banyak penduduk yang meninggalkan dan tidak trampil lagi dalam produksi bahan pangan lokal mereka, semakin banyak lahan pertanian pangan lokal berubah menjadi sawah monokultur untuk memproduksi beras yang justru lebih banyak dijual katimbang dikonsumsi sendiri, semakin sedikit keberagaman jenis bahan pangan yang mereka produksi sendiri, sehingga semakin lama mereka semakin tergantung pula pada sumber dan jenis bahan pangan yang didatangkan dari luar!
Beberapa data statistik resmi memperkuat prakiraan itu. Laporan mutakhir Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index –HDI) dari Program Pembangunan PBB (United Nations Development Program –UNDP), menunjukkan bahwa proporsi belanja rumah-tangga penduduk untuk pangan di Kabupaten Sumba Timur –dimana Lambanapu terletak— antara tahun 1999-2002, adalah 74,5%. Atau, hampir dua-pertiga dari total belanja rumah-tangga sebesar rata-rata hanya Rp 166.600 per bulan (UNDP-BAPPENAS-BPS, 2004). Dalam teori ekonomi, semakin besar belanja rumah-tangga untuk pangan berarti semakin miskin (lebih tepatnya: semakin mengalami proses pemiskinan), karena semakin tidak memiliki kemampuan untuk menabung, atau menyisihkan uang untuk keperluan peningkatan kesejahteraan lainnya (seperti untuk pendidikan dan kesehatan).
Hal itu, misalnya, terlihat pada jumlah bayi kekurangan gizi disana yang tercatat sebesar 31,9% pada tahun 1999 dan bertambah menjadi 33,6% pada tahun 2002, sementara angka kematian bayi adalah 73 per 1000 kelahiran pada tahun 2002, dan angka kesakitan (morbiditas) adalah 48,9% pada tahun yang sama. Semua angka-angka tersebut –dan beberapa angka lainnya yang berkaitan dengan pangan dan kesehatan—merupakan salah satu yang tertinggi di seluruh Indonesia, sehingga Kabupaten Sumba Timur dalam indeks kemiskinan nasional tahun 1999, tercatat pada peringkat ke-273 dari 294 kabupaten dan kota seluruh Indonesia (artinya, urutan ke-19 termiskin), dan pada peringkat ke-329 dari 366 kabupaten dan kota pada tahun 2002 (atau, urutan ke-37 termiskin) (UNDP-BAPPENAS-BPS, 2002 dan 2004). Singkatnya, masih tetap berada di ‘papan bawah’ sebagai daerah termiskin di negeri ini.
***
Oktober 2004.
Untuk kedua kalinya saya berkunjung ke Lambanapu. Kami bersepeda motor mendaki bukit-bukit tandus di tepi timur Sungai Raya Kambaniru. Panorama sungguh kontras. Lembah hijau sepanjang sungai dan lembah Lambanapu tertinggal di belakang, remang-remang dalam kepulan debu hasil gesekan roda-roda sepeda motor kami, sementara di depan mulai membentang perbukitan dan lembah gersang, coklat kemerahan sejauh mata memandang: bentang-alam Sumba yang sesungguhnya!
Lepas siang, kami beristirahat di bawah satu pohon meranggas sambil menikmati bekal jagung rebus dan dendeng kering. Di kejauhan tampak debu mengepul mengikuti jejak sekelompok anak-anak berlatih menunggang kuda Sumba yang terkenal itu. Saya teringat sajak terkenal dari Taufiq Ismail yang pernah ditulisnya untuk Sang Guru Penyair asal Sumba, Umbu Landu Paranggi. Saya melafazkannya dalam hati:
Rinduku pada Sumba
adalah rindu seribu ekor kuda
yang turun menggemuruh dari bukit-bukit jauh...

Lalu, kutambahkan lirik baru rekaan saya sendiri:
Rinduku pada Sumba
adalah rindu seribu batang jagung
yang tumbuh sepanjang tahun...

0 komentar:

Posting Komentar